Senin, 25 Januari 2010

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA YANG INOVATIF

PENDEKATAN PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA YANG INOVATIF


A. PENDEKATAN KONTEKSTUAL

• Latar Belakang Munculnya Pendekatan Kontekstual

Sejauh ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa.
Namun, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkm persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satu pendekatan yang memberdayakan siswa adalah pendekatan kontekstual (CTL).
• Pengertian Pendekatan Kontekstual
CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas
Pendekatan kontekstual memiliki berbagai nama. Di Negeri Belanda dikembangkan dengan nama Realistic Mathematics Education ( RME ). Di Michigan berkembang dengan nama Connected Matematic Project ( CMP ). Di Amerika berkembang dengan sebutan Contextual Teaching and Learning ( CTL ). Inti dari pendekatan ini adalah mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata dengan harapan agar peserta didik dapat mempelajarinya dengan mudah.
Di Indonesia, ada yang menggunakan istilah ” pembelajaran kontekstual ” ( Nurhadi, 2004 ), Departemen Pendidikan Nasional menggunakan istilah pendekatan kontekstual ( 2002 ).
Berikut ini beberapa pengertian pendekatan kontekstual. Johnson ( dalam Nurhadi, 2004 : 12 ) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupannya sehari – hari. Sementara, The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning ( dalam Nurhadi, 2004 : 12 ) merumuskan pembelajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memeperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di sekolah dan di luar sekolah untuk memcahkan persoalan yang ada dalam dunia nyata. Nurhadi ( 2004 : 13 ) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan kehidupannya sehari – hari.
Kata “Pendekatan” menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta berarti hal ( perbuatan, usaha ) mendekati atau mendekatkan. Menurut A.S Hornby dan E.C Parnwell, Via Siswojo (1998 : 5) contextual berarti susunan atau hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya ( yang membantu menunjukan arti ). Pengertian secara umum pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang digunakan pada proses belajar mengajar di mana materi kegiatannya berhubungan erat dengan pengalaman nyata secara di luar sekolah. Intinya pembelajaran menurut pendekatan kontekstual adalah materi pembelajaran diakitkan dengan kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk peserta didik bekerja dan mengalami, bukan berupa pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
Elaine B. Johnson memberikan penjelasan bahwa Contextual Teaching Learning (CTL) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. (Elaine B. Johnson, 2007:14).
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2005:109).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, CTL tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian, CTL merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
• Hakikat dan Karakteristik Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan perpaduan beberapa pendekatan dan praktek pengajaran yang baik dan sudah kita kenal sebelumnya misalnya pendekatan lingkungan, pendekatan konsep, pendekatan nilai, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan penemuan dan lain-lain. Pada hakekatnya pendekatan kontekstual merupakan respon terhadap pendekatan yang telah ada dan populer yaitu behaviorisme yang menekankan pada konsep stimulus dan respon dengan pelatihan yang bersifat drill.
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Sehingga dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing dan hal ini akan membuat siswa memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapainya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dengan demikian proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered.
 Mengapa pendekatan kontekstual menjadi pilihan ?
1. Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar 'baru' yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
2. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL 'dipromosikan' menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkari belajar melalui 'mengalami', bukan 'menghafal'.
3. Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. Its is not something that exists independent of a knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made (Zahorik, 1995).
4. Knowledge is contextual and fallible. Since knowledge is a construction of humans and humans constantly undergoing new experiences, knowledge can never by stable. The understandings that we invent are always tentative and incomplete. Knowledge grows through exposure. Understand becomes deeper and stronger if wan test it against new encounters (Zahorik, 1995).
 Kecenderungan pemikiran tentang belajar
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut :
1. Proses Belajar
• Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
• Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
• Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
• Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
• Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
• Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
• Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus diperpanjang akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
2. Transfer Belajar
• Siswa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain.
• Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit.
• Penting bagi siswa tahu "untuk apa" ia belajar, dan "bagaimana" ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai Pembelajar
• Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat tentang hal-hal baru.
• Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
• Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara "yang baru" dan yang sudah diketahui.
• Tugas guru "memfasilitasi" agar informasi baru bermakna memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
• Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton" ke "siswa bekerja dan berkarya, guru mengarahkan".
• Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibanding hasilnya.
• Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.
• Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting
Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa .
2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.
5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refleksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic).
Dalam pendekatan kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:
1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
2) melakukan pekerjaan yang berarti,
3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
4) Metodologi Pembelajaran – bekerja sama,
5) berpikir kritis dan kreatif,
6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
7) mencapai standar yang tinggi,
8) menggunakan penilaian autentik
(Elaine B. Johnson, 2007:65-66).
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerja sama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
1. Mengaitkan, adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, guru mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
2. Mengalami, merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hafalan.
Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada ( activating knowledge ).
2. Pemerolehan pengetahuan baru ( acquiring knowledge ) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan ( understanding knowledge ), yaitu dengan cara menyusun : (1) konsep sementara ( hipotesis ), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan ( validasi ) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut ( applying knowledge).
5. Melakukan refleksi ( reflecting knowledge ) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Lalu bagaimana dengan karakteristik dari pendekatan kontekstual? Berikut ini karakteristik pendekatan kontkstual. Johnson ( dalam Nurhadi 2004 : 13 – 14 ) mengungkapkan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama, yaitu
1) memiliki hubungan yang bermakna,
2) melakukan kegiatan yang signifikan,
3) belajar yang diatur sendiri,
4) bekerja sama,
5) berpikir kritis dan kreatif,
6) mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik,
7) mencapai standar yang tinggi, dan
8) menggunakan penialaian autentik.
Sementara, The Northwest Regional Education Laboratory USA ( dalam Nurhadi 2004 : 14 – 15 ) mengidentifikasi adanya enam kunci dasar pembelajaran kontkstual, yaitu
1) pembelajaran bermakna,
2) penerapan pengetahuan,
3) berpikir tingkat tinggi,
4) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar,
5) responsif terhadap budaya, dan
6) penilaian autentik.
Lebih kompleks lagi, karateristik pendekatan kontekstual yang diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ( 2003 : 20 – 21 ), yaitu
1) kerja sama,
2) saling menunjang,
3) menyenangkan,
4) belajar dengan bergairah,
5) pembelajaran terintegrasi,
6) menggunakan berbagai sumber,
7) peserta didik aktif,
8) sharing dengan teman,
9) peserta didik kritis,
10) guru kreatif,
11) dinding kelas dan lorong – lorong penuh dengan hasil karya peserta didik, peta, gambar, artikel, dan sebagainya,
12) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya peserta didik, laporan hasil praktikum, karangan, dsb.
Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual:
1) Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
2) Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks
3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.
4) Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri.
5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
6) Menggunakan penilaian otentik
 Fungsi dan Tujuan Pendekatan Kontekstual
Adapun fungsi dari “pendekatan kontekstual” pada proses belajar mengajar, yaitu:
a. Sebagai salah satu alternatif ( pilihan ) dalam penggunaan berbagai pendekatan pembelajaran.
b. Respon ( tanggapan ) terhadap pendekatan telah ada dan sudah terkenal ( populer ).
c. Memperbaiki kelemahan yang ada pada pelaksanaan proses belajar mengajar.
Sebagai salah satu atau bagian dari strategi belajar, pendekatan kontekstual mempunyai tujuan yaitu;
1) Meningkatkan motivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari,
2) Mengembangkan kreativitas fisik dan mental siswa dalam belajar, dan
3) Membantu guru dalam mengaitkan isi atau materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata
Pendekatan kontekstual juga bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya. Dengan transfer diharapkan:
(a) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’;
(b) keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit;
(c) Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
 Dasar Teori Penggunaan Pendekatan Kontekstual
Berdasarkan Teori Para Ahli Pendidikan, diantaranya :
a. Menurut Neman dan Logan, dalam strategi dasar belajar mengajar meliputi empat masalah yang dapat diterapkan dalam konteks pendidikan yaitu:
- Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian peserta didik yang bagaimana diharapkan.
- Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
- Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat, efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
- Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria dan standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan oleh seorang guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

Dari uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan belajar mengajar supaya berhasil sesuai dengan yang diharapkan.

Pada point kedua dapat diterangkan lebih lanjut, bahwa bagaimana cara kita memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang kita gunakan dalam memecahkan suatu kasus akan mempengaruhi hasilnya. Suatu masalah yang dipelajari dua orang dengan pendekatan berbeda akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sama.

Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan kalau dalam cara pendekatan nya menggunakan berbagai disiplin ilmu.

b. Menurut John Dewey (1915) menyatakan bahwa: “Kontekstual adalah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa”. Dapat dijabarkan bahwa “penggunaan pendekatan kontekstual adalah filsafat belajar yang mana dalam filsafat belajar itu sangat mengutamakan pada pengembangan minat atau keinginan yang mendalam dan dari berbagai pengalaman hidup yang telah di alami siswa itu sendiri.

c. Menurut Zakorik (1995) menyatakan bahwa: “dalam proses belajar akan sangat efektif apabila pengetahuan baru yang diberikan kepada siswa berdasarkan pengalaman yang sudah ada sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari”.
TUJUH KOMPONEN CTL
1. Kontruktivisme ( Contruktivism).
Konstruktivisme (constructivisvism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar, itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses "mengkonstruksi" bukan "menerima" pengetahuan. dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi "memperoleh" lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
(1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
(2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
(3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengelaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara , yaitu asimilasi atau akomodasi. asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.
Lalu bagaimanakah penerapannya di kelas?
Bagaimanakah cara merealisasikannya pada kelas-kelas di sekolah kita?
Pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide, dan sebagainya.
2. Menemukan (Inquiry).
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Topik mengenai adanya dua jenis binatang melata, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan "menurut buku".

Siklus inkuiri :
o Obsevasi (Observation)
o Bertanya (questioning)
o Mengajukan dugaan (Hyphotesis)
o Pengumpulan data (Data gathering)
o Penyimpulan (Conclussion)
Apakah hanya pada pelajaran IPA inkuiry itu bisa diterapkan? Jawabanya, tentu "Tidak". Inkuiri dapat diterapkan pada semua bidang studi; bahasa Indonesia ( menemukan cara menulis paragraf deskripsi yang indah ); IPS ( membuat sendiri bagan silsilah raja-raja Majapahit ); PPKN ( menemukan perilaku baik dan perilaku buruk sebagai warga Negara ). Kata kunci dari strategi inkuiri adalah "siswa menemukan sendiri"
Langkah-langkah kegiatan menemukan ( inkuiri ) :
(1). Merumuskan masalah ( dalam mata pelajaran apapun )
o Bagaimanakah silsilah raja-raja Majapahit ? ( sejarah )
o Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari? ( bahasa Indonesia )
o Ada berapa jenis tumbuhan menurut bentuk bijinya ? ( biologi )
o Kota mana saja yang termasuk kota besar di Indonesia? (geografi)
(2). Mengamati atau observasi
o Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung.
o Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati.
(3). Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
o Siswa membuat peta kota-kota besar sendiri.
o Siswa membuat paragraf deskripsi sendiri.
o Siswa membuat bagan silsilah raja-raja majapahit sendiri.
o Siswa membuat penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri
o Siswa membuat essai atau usulan kepada Pemerintah tentang berbagai masalah di daerahnya sendiri, dst.
(4). Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain
o Karya siswa disampaikan teman sekelas, guru, atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan
o Bertanya jawab dengan teman,
o Memunculkan ide-ide baru
o Melakukan refleksi
o Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di majalah dinding, majalah sekolah, dsb.
3. Bertanya (Questioning).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari "bertanya". Sebelum tahu kota Palu, seseorang bertanya "Mana arah kota Palu? Questioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek ynag belum diketahuinya,
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
(1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
(2) mengecek pemahaman siswa
(3) membangkitkan respon kepada siswa
(4) mengetahui sejauh mana keinginantahuan siswa
(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
(6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
(8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa

Bagaimanakah penerapannya di kelas? Hampir pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan; antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dsb. Kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk "bertanya".

4. Masyarakat Belajar (Learning Comunity)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya "Bagaimana caranya? tolong bantu aku!" Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat belajar ( learning community ).

Hasil belajar diperoleh dari "sharing" antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat-belajar.

Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang "ahli' ke kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, peternak susu. teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, dan sebagainya.

"Masyarakat-belajar" bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, "Seorang guru yang mengajari siswanya" bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. dalam masyarakat-belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.

Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik "learning community" sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terujud dalam:
 Pembentukan kelompok kecil
 Pembentukan kelompok besar
 Mendatangkan "ahli' ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb.)
 Bekerja dengan kelas sederajat
 Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya
 Bekerja dengan masyarakat

5. Pemodelan (Modelling)

Komponen CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebaginya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang "bagaimana cara belajar"

Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan memanfaatkan gerak mata (scanning).Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa menagamati guru membaca dan membolak balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajran menemukan kata kunci secar cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci, guru menjadi model.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberikan contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa "contoh" tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai "standar" kompetensi yang harus dicapainya.
Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi "model" cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
Bagaimanakah contoh praktek pemodelan di kelas?
 Guru olah raga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa.
 Guru PPKN mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh itu.
 Guru geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya.
 Guru biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan.
 Guru bahasa Indonesia menunjukkan teks berita dari Harian Republika, Padang Pos, dsb. sebagai model pembuatan berita.
 Guru kerajinan mendatangkan "model" tukang kayu ke kelas, lalu memintanya untuk bekerja dengan peralatannya, sementara siswa menirunya.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi juga bagian penting dalam pembelejaran dengan pendekatan CTL. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Rfleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung "Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya, dengan cara yang baru saya pelajari ini, file komputer lebih tertata".

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.

Kunci dari semua adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :
 pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu
 catatan atau jurnal di buku siswa
 kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu
 diskusi
 hasil karya

7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir priode (cawu/semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti) EBTA/EBTANAS, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa gar mampu mempelajari (learning how to learn) bukan ditekan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Inggris bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa menggunakan bahasa Inggris, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Inggris. Data yang diambil dari kegiatan siswa melakukan kegiatan berbahasa Inggris baik di dalam kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut data autentik.
Kemudian belajar dinilai dari proses, biukan melalui hasil. Ketika guru mengajarkan sepak bola, siswa yang tendangannya paling bagus, dialah yang memperoleh nilai tinggi. Dalam pembelajaran bahasa asing (bahasa Inggris), siapa yang ucapannya cas-cis-cus, dialah yang nilainya tinggi, bukan hasil ulangan tentang grammarnya. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Penilaian tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain.
Karakteristik autentic assessment :
 Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
 Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
 Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
 Berkesinambungan
 Terintrgrasi
 Dapat digunakan sebagai feed back

Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa :
(1) Proyek/kegiatan dan laporannya
(2) PR
(3) Kuis
(4) Karya Tulis
(5) Presentasi atau penampilan siswa
(6) Demonstrasi
(7) Laporan
(8) Jurnal
(9) Hasil tes tulis
(10) Karya tulis

Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah "Apakah anak-anak belajar?", bukan "Apa yang sudah diketahui?". Jadi, siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak selalu dari hasil ulangan tulis!.
Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pembelajaran berdasarkan CTL, yaitu
a. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
b. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
c. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
d. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
e. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
f. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas.
g. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

• Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas

Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning) masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksanakan hal itu tidak sulit. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya adalah berikut ini.
(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
(2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
(3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
(4) Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok).
(5) Hadirkan 'model' sebagai contoh pembelajaran.
(6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
(7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara !.

• Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap-demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya.
Berbeda dengan program yang dikembangkan paham objektivis, penekanan program yang berbasis kontekstual bukan pada rincian dan kejelasan tujuan, tetapi pada gambaran kegiatan tahap demi tahap dan media yang dipakai. Perumusan tujuan yang berkecil-kecil, bukan menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembelajaran berbasis CTL, mengingat yang akan dicapai bukan "hasil", tetapi lebih dari pada "strategi belajar". Yang diinginkankan bukan "banyak , tetapi dangkal", malinkan "sedikit, tetapi mendalam".
Dalam konteks itu, program yang dirancang, guru benar-benar "rencana pribadi" tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Gambaran selama ini bahwa RP adalah laporan untuk kepala sekolah atau pihak lain harus dibuang jauh-jauh. RP-lah yang mengingatkan guru tentang benda apa yang harus dipersiapkan, alat apa yang harus dibawa berapa banyak, ukuran berapa, dan langkah-langkah apa yang akan dikerjakan siswa. RP-lah yang akan mengingatkan guru ketika akan berangkat ke sekolah, "Oh, aku belum menggunting kertas karton menjadi empat bagian untuk dibagikan ke anak-anak nanti!"
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lahi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.

















B. Konsep Pendekatan Komunikatif
• Latar Belakang
Menurut Tarigan (1989: 270), munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an menggunakan pendekatan situasional.
Dalam pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan dengan cara mempraktikkan/ melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori linguistik yang mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar linguistik terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran bahasa situasional.
Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar gagasan yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional. Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri dan kembali kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung makna dalam dirinya dan mengekspresikan makna serta maksud-maksud pembicara dan penulis yang menciptakannya (Howatt, 1984: 280, dalam Tarigan, 1989:270).
• Pengertian Pendekatan komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Di dalam konsep pendekatan komunikatif terdapat konsep kompetensi komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja.
Kompetensi komunikatif itu adalah keterkaitan dan interelasi antara kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan kompetensi sosiolinguistik atau atauran-aturan tentang penggunaan bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat. Kompetensi komunikatif hendaknya dibedakan dengan perforemansi komunikatif karena performansi komunikatif mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam pemroduksian secara actual dengan pemahaman terhadap terhadap tuturan-tuturan. Oleh sebab itu, seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan performansi berbahasa yang baik hendaknya mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajarinya, baik dalam pemroduksian (berbicara dan menulis/mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca dan menyimak/mendengarkan).
• Hakikat Pendekatan komunikatif
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.

• Ciri-ciri Pendekatan Pembelajaran Komunikatif

Ciri utamanya adalah adanya dua kegiatan yang saling berkaitan erat, yakni adanya kegiatan-kegiatan komunikatif fungsional (functional communication activies) dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya interaksi sosial (social interaction activies).
Kegiatan komunikatif fungsional terdiri atas empat hal, yakni mengolah infomasi, berbagi dan mengolah informasi, berbagi informasi dengan kerja sama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas.
Sedangkan kegiatan interaksi sosial terdiri atas enam hal, yakni improvisasi, lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi, dialog, dan bermain peran, sidang-sidang konversasi dan diskusi, serta berdebat.
Brumfit dan Finocchiaro mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah
1) makna merupakan yang terpenting,
2) percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal,
3) kontekstualisasi merupakan premis pertama,
4) belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi,
5) komunikasi efektif dianjurkan,
6) latihan penubihan atau drill diperbolehkan, tetapi tidak memberatkan,
7) ucapan yang dapat dipahami diutamakan,
8) setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik,
9) segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal,
10) penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak,
11) terjemahan digunakan jika diperlukan peserta didik,
12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal,
13) sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi,
14) komunikasi komunikatif merupakan tujuan,
15) variasi linguistic merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi,
16) urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar,
17) guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu,
18) bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba,
19) kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan,
20) peserta didik diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis,
21) guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didinya, dan
22) motivasi intrinksik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
• Peran Peserta Didik dalam Proses Belajara-Mengajar
Robin dan Thompson mengemukakan bahwa cirri-ciri peserta didik yang sesuai dengan konsep pendekatan komunikatif adalah:
1) selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat,
2) berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif,
3) tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi,
4) selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi,
5) frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi, dan
6) selalu memantau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
• Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar
Dua peran guru dalam proses belajar-mengajar, yaitu
1) pemberi kemudahan dalam proses komunikasi antara semua peserta didik dalam kelas, antara peserta didik dengan kegiatan pembelajaran, serta teks atau materi, dan
2) sebagai partisipan mandiri dalam kelompok belajar-mengajar.
Implikasi dari kedua peran di atas menimbulkan peran-peran kecil lainnya, yaitu peran sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan pembelajar dalam proses belajar-mengajar.

• Peran Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dipersiapkan setelah guru mengadakan suatu analisis kebutuhab peserta didik. Keanekaragaman kebutuhan peserta didik ini ditampung guru dan dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi pembelajaran. Implikasi dari keadaan ini adalah aktivitas peserta didik dalam kelas berorientasi pada peserta didik.
Kedudukan materi pembelajaran ditekankan pada sesuatu yang menunjang komunikasi peserta didik secara aktif. Ada tiga jenis materi yang perlu dipertimbangakn, yaitu
1) materi yang berdasarkan teks,
2) materi yang berdasarkan tugas, dan
3) materi yang berdasarkan bahan yang otentik.

• Metodologi Pembelajaran Bahasa Berdasarkan Pendekatan Komunikatif

Tarigan mengungkapkan bahwa metode-metode pembelajaran bahasa komunikatif dilandasi oleh teori pembelajaran yang mengacu pada dua prinsip, yaitu
1) Prinsip komunikasi, kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi nyata mampu mengembangkan proses pembelajaran,
2) Prinsip tugas, kegiatan-kegiatan-kegiatan tempat dipakainya bahasa untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dapat mengembangkan proses pembelajaran. Berdasarkan prinsip tersebut, materi pembelajaran bahasa hendaknya dapat diterapkan melalui metode permainan, simulasi, bermain peran, dan komunikasi pasangan.




• Aspek – Aspek yang Berkaitan Erat dengan Pendekatan Komunikatif

Ada 8 aspek yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif (David Nunan, 1989, dalam Solchan T.W., dkk. 2001:6.6):
1) Teori Bahasa Pendekatan komunikatif berdasarkan teori bahasa menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna, yang menekankan pada dimensi semantic dan komunikatif daripada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang perlu ditonjolkan adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
2) Teori Belajar Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini adalah teori pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.
3) Tujuan Mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi komunikatif).
4) Silabus Silabus harus disusun searah dengan tujuan pembelajaran dan tujuan yang dirumuskan dan materi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa.
5) Tipe Kegiatan Tukar menukar informasi, negosiasi makna atau kegiatan lain yang bersifat riil.
6) Peranan Guru Fasilitator proses komunikasi, partisipan tugas dan tes, penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer proses belajar.
7) Peranan Siswa Pemberi dan penerima, negosiator, dan interakor sehingga siswa tidak hanya menguasai bentuk bahasa, tapi juga bentuk dan maknanya.
8) Peranan Materi Pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi nyata.


Penerapan Pendekatan Komunikatif Dalam Pembelajaran Bahasa
Adapun dalam penerapan pendekatan komunikatif ini, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni tujuan pembelajaran dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).
Prosedur Penggunaan Pendekatan Komunikatif
Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI, 2001:742), dijelaskan bahwa prosedur merupakan thap-tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Finocchiaro dan Brumfit (dalam Tarigan, 1989: 294) mengemukakan suatu bagan/skema pelajaran bagi fungsi “pembuatan suatu sugesti” bagi para pembelajar pada tingkat permulaan program sekolah menengah, tetapi juga dapat digunakan untuk jenjang pendidikan dasar, bahwa prosedur-prosedur pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Adapun garis kegiatan pembelajaran yang ditawarkan mereka adalah; penyajian dilog singkat, pelatihan lisan dialog yang disajikan, penyajian tanya jawab, penelaah dan pengkajian, penarikan simpulan, aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan, pemberian tugas, pelaksanaan evaluasi.










ESENSI PENDEKATAN KOMUNIKATIF

Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang pengertian pendekatan komunikatif. Sebagian mereka berpendapat bahwa pendekatan komunikatif bukanlah sebuah pendekatan sempurna yang memiliki karakteristik tersendiri dan pembelajaran yang jelas, akan tetapi merupakan percampuran strategi-strategi pengajaran yang memiliki tujuan tertentu yaitu membelajarkan pembelajar untuk menggunakan bahasa dan mengkonstruknya sendiri, jadi bukan hanya terpaku pada struktur tata bahasanya.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang memandang bahasa lebih tepat dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan atau ditindakkan dengan bahasa (fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat diungkapkan melalui bahasa (nosi), tetapi bukannya berkenaan dengan butir-butir tata bahasa. Dengan perkataan lain, kita menggunakan bahasa untuk meminta maaf, menyapa, membujuk, menasehati, memuji, atau untuk mengungkapkan makna tertentu, tetapi tidak untuk membeberkan kategori-kategori gramatikal yang ditemukan oleh para ahli bahasa. Hal ini juga didukung oleh Sumardi, bahwa pendekatan ini disusun atas dasar fungsi dan kebutuhan pembelajar, dengan harapan pembelajar dapat menggunaka bahasa untuk berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya dan bukan komunikasi yang dibuat-buat.
Sementara menurut Savignon dalam bukunya Communicative Competence: Theory and Classroom Practice, sebagaimana dikutip oleh Parera bahwa pendekatan komunikatif yaitu pemberian aktifitas penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa, atau pembelajaran bahasa dari struktur permukaan tata bahasa ke makna (from surface gramatical structure to meaning).
Pendekatan komunikatif tidaklah menafikan keberadaan struktur bahasa dalam pembelajaran secara total, namun pendekatan ini memberikan peran unsur-unsur komunikatif yang lebih banyak dibanding unsur-unsur struktur dalam pembelajaran bahasa. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Wilkins dan Widdowson bahwa fungsi dan nosi selalu dilandasi dengan ukuran gramatikal dan situasi yang ada. Struktur bahasa tidak selamanya bisa digantikan oleh pandangan fungsi, bahkan menurut Wilkins sendiri sebagai orang yang membidani pendekatan ini juga mengajak para pengikutnya agar apa yang dinamakan nosi dan fungsi hendaknya tidak mendorong suatu posisi yang ekstrim ke posisi ekstrim lainnya. Tetapi nosi dan fungsi hanya sekedar ”…to change the balance of priorities by emphasizing function and meanings through language” (…mengubah keseimbangan prioritas dengan menekankan fungsi dan makna melalui bahasa). Jadi dari pelopornya sendiri bermaksud untuk memberikan penekanan yang wajar antara tata bahasa dan maknanya dalam konteks.
Komunikasi yang realistis akan terjadi dalam pergaulan sehari-hari dan bukan dibuat-buat, sebagaimana yang terjadi pada pendekatan audiolingual yang menitikberatkan pembelajaran bahasa pada pembiasaan pengucapan pola-pola latihan. Dengan aktifitas komunikasi yang realistis dengan bahasa yang dipelajari baik di sekolah, rumah maupun lingkungan yang lebih luas, maka akan tercipta hubungan komunikasi yang penuh kebermaknaan yakni tidak ada pembicaraan yang kurang efektif ataupun tanpa makna. Selain itu, komunikasi yang efektif dalam pembelajaran bahasa akan tercipta dengan baik bila materi ajar dan sebagainya telah melalui analisis kebutuhan pembelajar, artinya kebutuhan komunikasi pembelajar teridentifikasi lebih awal kemudian berdasarkan identifikasi itulah seorang guru menelurkannya dalam pembelajaran bahasa.
Hal ini menujukkan bahwa pembelajaran harus berpusat kepada pembelajar, yakni proporsionalitas peran antara pembelajar dan guru akan lebih banyak peran aktifitas pembelajar dalam pembelajaran bahasa, oleh karena itu, pembelajar tidak lagi menunggu, menerima apalagi hanya menghafal kaidah-kaidah bahasa yang diajarkan tanpa ekplorasi dan konstruksi dari pembelajar itu sendiri terhadap pengetahuan dan praktek berbahasa yang diajarkan. Namun semua itu harus didukung oleh materi ajar yang sesuai dengan pendekatan komunikatif, baik berupa teks (dialog dan bacaan bebas), tugas (bercerita tentang kehidupan sehari-hari pembelajar, menceritakan kembali hasil perjalanan ke suatu tempat dengan redaksi bahasa sendiri dan lain-lain) maupun otentik (koran, majalah, kartu identitas, rekaman suara maupun gambar dan lain-lain).
Pendekatan ini berorientasi penuh pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi antar sesama. Untuk mengungkapkan berbagai ungkapan dalam aktifitas komunikasi yang riil, seseorang harus mengetahui sejumlah fungsi bahasa agar ia dapat mengungkapkan tuturan bahasa sesuai dengan siapa, kapan, dan bagaimana bertutur. Lyon mengemukakan ada tiga fungsi bahasa antara lain
a) fungsi deskriptif bahasa yaitu untuk menyampaikan informasi faktual. Ini merupakan tipe informasi yang dapat dinyatakan atau disangkal dalam beberapa hal bahkan dapat diuji, contoh: ”dia pasti sudah tidak tidur nyenyak di kamar”,
b) fungsi ekspresif bahasa yaitu untuk menyediakan informasi mengenai sang pembicara, perasaannya, pilihannya, prasangkanya, dan pengalaman masa lalunya, contoh ucapan: ”saya tidak akan mengundang mereka lagi”.
c) fungsi sosial bahasa yaitu melayani, memantapkan serta memelihara hubungan-hubungan sosial antara orang-orang., contoh: ”cukup, Tuan?” digunakan oleh seorang pelayan suatu restoran untuk menandai hubungan sosial tertentu antara sang pelayan dan tamu. Sang pelayan menempatkan sang tamu dalam hubungan peran yang lebih tinggi.
Sementara Halliday mengungkapkan fungsi-fungsi bahasa seperti
a) fungsi instrumental; menyatakan keperluan atau pelayanan. Contoh: “Saya mau….”, “Beri saya……”,
b) fungsi regulasi; menyatakan perintah atau permintaaan untuk mengawasi perilaku atau tindak tanduk orang lain. Contoh: ”kerjakan itu!”, ”mari kita pergi”.
c) fungsi interaksional; bahasa digunakan untuk berinteraksi, untuk bergaul: menyapa, memanggil nama, memberi reaksi atau responsi terhadap orang lain. Contoh: “Lihat sini….”, “Ini buat kamu….”,
d) fungsi personal; bahasa digunakan untuk mengekspresikan kekhasan, keunikan dan kesadaran diri sendiri seperti perasaan pribadi, minat, kebencian, keluhan, rasa heran dan gembira, contoh: “Saya akan pergi….”, “saya sangat…”,
e) fungsi heuristik; bahasa yang digunakan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan. Contoh: “Katakan kepada saya mengapa…?”, “Apa ini?”, “Siapa itu?”.
f) fungsi imajinatif; bahasa yang digunakan seseorang untuk menciptakan lingkungan sendiri, membuat cerita, beramain.
g) fungsi informatif; bahasa yang digunakan untuk memberikan informasi yang belum diketahui oleh orang lain. Contoh: “Ada yang akan saya ceritakan kepadamu”. “Saya punya….baru.”
Fungsi-fungsi bahasa yang dimaksudkan dalam pendekatan komunikatif tidak lain tujuan pembelajarannya adalah untuk mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Konsep kemampuan komunikatif pertama kali dimunculkan sekitar 30-an tahun yang lalu oleh Dell Hymes (1972) seorang pakar sosiolinguistik, sebagai respon terhadap keterbatasan konsep kompetensi dan performansi model bahasa Chomsky. Konsep Hymes ini juga kemudian lebih jauh dikembangkan oleh Canale dan Swain ditahun 1980-an. Menurut Canale, kompetensi komunikatif ialah seperangkat pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk tujuan komunikasi. Ada empat komponen kompetensi komunikatif yaitu:
1) kompetensi gramatikal
2) kompetensi sosial-kultural,
3) kompetensi wacana, dan
4) kompetensi strategis.
Menurut Candlin dan Widdowson dan diikuti oleh beberapa ahli bahasa di Eropa melihat bahwa menjadi sebuah kebutuhan untuk lebih memfokuskan pembelajaran bahasa kepada kecakapan atau keahlian berkomunikasi dari pada pembelajaran bahasa yang berkutat pada penguasaan struktur belaka, pembelajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif dianggap lebih relevan dengan fungsi bahasa itu sendiri yakni untuk komunikasi antar sesama, dengan kata lain bahwa pengembangan pembelajaran bahasa baik bahasa Inggris ataupun bahasa Arab dewasa ini seyogyanya diarahkan untuk kemampuan berbahasa peserta didik secara aktif.
Littlewood dalam bukunya Communicative Language Teaching, mengkategorikan prosedur metodologis pembelajaran bahasa dalam dua kategori dan masing-masing dua sub kategori sebagaimana dikutip Parera yaitu:
1) kegiatan prakomunikasi:
(i) kegiatan struktural,
(ii) kegiatan kuasikomunikasi,
2) kegiatan komunikasi:
(i) komunikasi fungsional,
(ii) interaksi sosial.
Penjenjangan komunikasi seperti dikemukakan Littlewood di atas, menempatkan pembelajaran yang bermakna dan mengaitkan pembelajaran kebahasaan atau kegiatan struktural dan kegiatan komunikasi dalam kelas antar sesama peserta atau sesuai dengan buku. Inilah yang dikatakan sebagai kegiatan prakomunikasi. Sedangkan penjenjangan komunikasi sudah mulai beranjak dari kegiatan dalam kelas ke kegiatan komunikasi yang real dan makin lama makin mendekati masyarakat pemakai bahasa. Kemudian lahirlah kegiatan interaksi sosial. Kegiatan komunikasi yang terjadi secara natural dalam interaksi sosial semacam itu dapat dikatakan sebagai gambaran aplikasi pendekatan komunikatif yang berhasil dan realistis karena penggunaan bahasa sesuai fungsinya yakni komunikasi yang sebenarnya.
Aktifitas berbahasa seseorang yang terjadi saat Interaksi sosialnya dengan orang lain merupakan bentuk komunikatif yang nyata dan sebenarnya, Thua’imah mengungkapkan bahwa pendekatan komunikatif terbangun dari komunikasi yang terjadi dalam kehidupan yang nyata atau dengan kata lain seseorang memperoleh kemampuan bahasanya dengan alamiah dan bukan melalui pola-pola pembiasaan dan penguatan atau pengulang-ulangan ungkapan.





Kompetensi dan performansi dalam pendekatan komunikatif
Istilah kompetensi dan performansi mulai populer ketika Chomsky menerbitkan bukunya yang berjudul Aspects of the Theory of Syntax. Kompetensi mengacu pada pengetahuan dasar tentang suatu sistem, peristiwa atau kenyataan. Kompetensi ini bersifat abstrak, tidak dapat diamati, karena kompetensi terdapat dalam alam pikiran manusia. Yang dapat diamati adalah gejala-gejala kompetensi yang tampak dari perilaku (kebahasaan) manusia seperti berbicara, berjalan, menyanyi, menari dan sebagainya.
Dalam pengajaran, kita memiliki asumsi bahwa pembelajar memproses kompetensi tertentu dan kompetensi ini dapat diukur dan diteliti dengan cara mengamati performansi. Cara ini umumnya disebut tes atau ujian. Dalam linguistik, kompetensi mengacu pada pengetahuan sistem kebahasaan, kaidah-kaidah kebahasaan, kosakata, unsur-unsur kebahasaan, dan bagaimana unsur-unsur itu dirangkaikan, sehingga dapat menjadi kalimat yang memiliki arti. Performansi merupakan produksi secara nyata seperti berbicara, menulis dan juga komprehensi seperti menyimak dan membaca pada peristiwa-peristiwa ahli bahasa.
Kompetensi kebahasaan, merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Chomsky (1965). Dalam hal ini kompetensi mengacu pada pengetahuan gramatika. Pembicara-pendengar yang ideal dalam suatu masyarakat yang homogen mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah gramatika bahasanya. Gramatika suatu bahasa berisi suatu deskripsi mengenai kompetensi yang bersifat intrinsik pada diri pembicara-pendengar.
Kompetensi kebahasaan adalah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat abstrak, yang berisi pengetahuan tentang kaidah, parameter atau prinsip-prinsip, serta konfigurasi-konfigurasi sistem bahasa. Kompetensi kebahasaan merupakan pengetahuan gramatikal yang berada dalam struktur mental di belakang bahasa. Kompetensi kebahasaan tidak sama dengan pemakaian bahasa. Kompetensi kebahasaan bukanlah kemampuan untuk menyusun dan memakai kalimat, melainkan pengetahuan tentang kaidah-kaidah atau sistem kaidah. Dalam hal ini kita dapat memahami bahwa mengetahui pengetahuan sistem kaidah belum tentu sama atau jangan disamakan dengan kemampuan menggunakan kaidah bahasa tersebut dalam aktualisasi pemakaian bahasa pada situasi konkret. Masalah bagaimana menggunakan bahasa dalam aktualisasi konkret merupakan masalah performansi.
Di samping kompetensi kebahasaan, Chomsky juga mengemukakan performansi kebahasaan. Dalam kenyataan yang aktual, performansi itu tidak sepenuhnya mencerminkan kompetensi kebahasaan. Dikemukakan oleh Chomsky bahwa dalam pemakaian bahasa secara konkret banyak ditemukan penyimpangan kaidah, kekeliruan, namun semua itu masih dapat dipahami oleh pembicara-pendengar karena mereka mempunyai kompetensi kebahasaan.
Berkaitan dengan kompetensi ini, Chomsky mengemukakan konsep ’keberterimaan’ dan konsep ’kegramatikalan’. Keberterimaan mengacu pada bentuk-bentuk tuturan yang benar-benar alamiah dan dengan cepat dapat dipahami, tidak aneh, tidak asing dan tidak janggal. Sedangkan kegramatikalan, mengacu pada bentuk-betuk tuturan yang apabila dilihat dari kaidah kebahasaan yang bersangkutan tidak menyimpang. Masalah keberterimaan berkaitan dengan performansi kebahasaan, sedangkan kegramatikalan berkaitan dengan kompetensi kebahasaan. Pengertian kedua istilah tersebut tidak boleh dicampuradukkan. Contoh pada kalimat berikut (1) dan (2) merupakan contoh kalimat yang memiliki tingkat kegramatikalan dan keberterimaan yang tinggi, sedangkan kalimat (3) dan (4) memiliki kegramatikalan yang rendah namun keberterimaannya tinggi.
1. Bapak membaca surat kabar di ruang tamu
2. Sopyan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa lulus dalam ujian
3. ....Satu kilo gula, tiga kilo tepung dan setengah kilo mentega bu….
4. …Besok pagi jam delapan dari stasiun Turi, dik!
Di samping kompetensi kebahasaan, dalam linguistik juga dikenal istilah kompetensi komunikatif. Konsep kompetensi komunikatif seperti yang pernah penulis kemukakan sekilas di pembahasan sebelumnya merupakan konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes dalam makalahnya yang berjudul “on communicative competence“. Kompetensi komunikatif Dell Hymes ini sebagai reaksi terhadap kompetensi kebahasaan Chomsky, yang oleh Dell Hymes dipandang terlalu sempit, hanya menyangkut aspek gramatika. Dell Hymes mengemukakan bahwa penggunaan bahasa meliputi hal-hal yang lebih dari sekedar mengetahui penyusunan kalimat yang benar secara gramatikal. Ada banyak faktor dalam komunikasi yang menentukan aktualisasi pemakaian bahasa secara umum yang disebut konteks.
Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan untuk menerapkan kaidah gramatikal suatu bahasa dalam membentuk kalimat-kalimat yang benar dan untuk mengetahui kapan, di mana, dan kepada siapa kalimat-kalimat itu diujarkan. Dengan berbekal kompetensi komunikatif, seseorang dapat menyampaikan dan menginterpretasikan suatu pesan atau menegosiasikan makna secara interpersonal dalam konteks yang spesifik. Krashen juga menegaskan bahwa kompetensi komunikatif lebih menekankan kepada fungsi bahasa dalam komunikasi sesungguhnya dari pada menguasai bentuk dan kaidah kebahasaan. Kaidah-kaidah kebahasaan itu hanya berfungsi untuk memonitor suatu bentuk ujaran.
Menurut Tarigan, pada hakekatnya kompetensi komunikatif meliputi:
a) Pengetahuan mengenai tata bahasa dan kosakata bahasa yang bersangkutan.
b) Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbicara (yaitu mengetahui bagaimana memulai dan mengakhiri percakapan-percakapan, mengetahui topik apa ynag mungkin dibicarakan dalam berbagai peristiwa-bicara, mengetahui bentuk-bentuk sapaaan yang seharusnya dipakai kepada orang lain dalam berbagai sistuasi).
c) Mengetahui bagaimana cara menggunakan dan memberi respon terhadap berbagai tipe tindak tutur, seperti meminta, memohon, meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan mengundang orang.
d) Mengetahui bagaimana cara menggunakan bahasa secara tepat dan memuaskan.
Jadi dengan demikian, seseorang yang ingin berbicara dengan orang lain, harus mengenali latar belakang sosial, hubungannya dengan orang lain, dan tipe-tipe bahasa yang dapat dipergunakan bagi kesempatan tertentu. Di samping itu, ia juga harus mampu menafsirkan kalimat-kalimat lisan maupun tulisan di dalam keseluruhan konteks tempatnya dipakai. Contoh: angin sepoi-sepoi telah menjadi angin ribut, dan hujan tidak akan lama lagi. ungkapan ini dapat merupakan suatu permintaan, khususnya kepada seseorang dalam hubungan peran yang setara atau lebih rendah untuk segera mencari tempat berlindung dari buruknya cuaca saat mana ungkapan itu dinyatakan, namun bisa juga ungkapan itu merupakan curahan perasaan seseorang yang sedang sedih meratapi cerita cinta atau usahanya yang akan sebentar lagi hancur dan sebagainya.
Secara teoritis, kompetensi komunikatif memiliki paling tidak empat komponen sebagaimana yang dikemukakan oleh Canale dan Swain (1980-an) sebagaimana dikutip Jason Beale: Pertama: kompetensi gramatikal yaitu penguasaan kaidah kebahasaan, baik verbal maupun non verbal seperti fonology (ilmu bunyi), orthography (penulisan), vocabulary (kosakata), pembentukan kata, dan pembentukan kalimat. Inilah yang dimaksud oleh Chomsky dengan kompetensi kebahasaan yaitu pengetahuan tentang tata bahasa dan memiliki kemampuan yang cukup untuk menggunakannya dalam komunikasi, namun menurut Savignon, penekanannya bukan pada pengetahuan tentang kaidah bahasa tersebut melainkan pada pemakaian kaidah tersebut, dengan demikian, kompetensi komunikatif pelajar diukur dengan kemampuannya memproduk ungkapan yang benar menurut kaidah, bukan kemampuannya menghafal kaidah.
Kedua: kompetensi sosiolinguistik yaitu penguasaan aturan penggunaan bahasa dalam konteks sosio-kultural. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap faktor-faktor tertentu, misalnya peran dan status partisipan, tujuan dan fungsi interaksi, aturan dan norma interaksi dan sebagainya. Jadi, ini adalah satu kompetensi antar disiplin ilmu di mana pelajar bisa menggunakan bahasa secara baik dan wajar, pragmatis dan sesuai dengan konteks sosial pemakaian bahasa.
Secara singkat dapat pula dikatakan bahwa kompetensi sosiolinguistik merupakan a) ekspresi dan pemahaman makna-makna sosial yang tepat serta memuaskan yaitu fungsi-fungsi, sikap-sikap dan topik-topik komunikatif dalam konteks-konteks sosiolinguistik yang beraneka ragam. b) ekspresi dan pemahaman bentuk-bentuk gramatikal yang tepat serta memuaskan bagi fungsi-fungsi komunikatif yang beraneka ragam dalam konteks-konteks sosiolinguistik yang berbeda-beda (yang merupakan wadah fungsi-fungsi dan konteks-konteks yang dipilih dan disaring dengan seksama berdasarkan analisis kebutuhan dan minat komunikatif para pembelajar).
Ketiga: kompetensi wacana yaitu kemampuan untuk memberikan interpretasi tentang topik paragraf, bab atau buku dengan menggunakan keterpaduan struktur dan kerterkaitan makna atau dengan ungkapan lain kompetensi wacana yakni kemampuan menafsirkan rangkaian kalimat atau ungkapan dalam rangka membangun keutuhan dan makna dan keterpaduan teks sesuai dengan konteksnya. Keempat: kompetensi strategis yaitu kemampuan untuk memperjelas efektifitas komunikasi dan mengimbangi kejumudan komunikasi antar sesama, atau dapat dikatakan kompetensi ini merupakan satu fungsi pelengkap dalam komunikasi jika kompetensi kebahasaan tidak cukup. Menurut Huda, kompetensi strategis ialah kemampuan menguasai strategi komunikasi verbal dan non-verbal, untuk keperluan a) mengatasi kemacetan komunikasi yang terjadi pada kondisi tertentu, misalnya keterbatasan kosakata dan gramatika, b) meningkatkan efektifitas komunikasi.
Karena tujuan pengajaran dalam pendekatan komunikatif pada hakekatnya adalah untuk berkomunikasi, maka kemampuan bahasa yang dikembangkan adalah kemampuan berkomunikasi, bukan kemampuan tentang pengetahuan bahasa. Widdowson sebagaimana dikutip Thu‘aimah membedakan kemampuan berbahasa dan kemampuan tentang bahasa. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan yang dimiliki baik oleh pembicara maupun pendengar untuk memahami dan memproduksi bahasa-bahasa ucapan. Sebaliknya kemampuan tentang bahasa ialah kemampuan secara umum mempelajari dan mengenal semua ungkapan-ungkapan bahasa yang benar dan baik walaupun tidak mampu mengucapkan atau menggunakannya.
Jadi, pembelajar hendaknya mampu mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa Arab sesuai dengan perkembangan dan tingkat umurnya. Dia harus mampu memahami pesan-pesan yang diucapkan di dalam bahasa Arab dan harus mampu secara spontan mengucapkan atau menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menjawab pesan-pesan tersebut dengan tepat dan juga harus mampu menyatakan keinginan, kebutuhan atau hasratnya tanpa harus dirangsang terus oleh guru. Dia harus mampu membuat dan menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut dengan memadukan sistem ucapan, tata bahasa dan kosa kata di dalam situasi budaya bahasa tersebut yang digunakan secara normal sebagaimana penutur asli menggunakannya.
Kompetensi komunikatif meliputi pengetahuan penggunaan bahasa dan kemampuan menggunakannya dalam berbagai konteks atau situasi komunikasi. Savignon menyebutkan lima karakteristik kompetensi komunikatif antara lain:
1. Kompetensi komunikatif bersifat dinamis, bergantung pada negosiasi makna antara dua penutur atau lebih yang sama-sama mengetahui kaidah pemakaian bahasa. Dalam pengertian ini kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal.
2. Kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa, baik secara tertulis maupun lisan, juga sistem simbolik yang lain.
3. Kompetensi komunikatif bersifat kontekstual. Komunikasi selalu terjadi pada variasi situasi tertentu. Keberhasilan komunikasi bergantung pada pengetahuan partisipan terhadap konteks dan pengalaman.
4. Berkaitan dengan dikotomi kompetensi dan performansi, kompetensi mengacu pada apa yang diketahui, sedangkan performansi mengacu pada apa yang dilakukan. Hanya performansi saja yang dapat diamati. Hanya melalui performansi, kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan dan dievaluasi.
5. Kompetensi komunikatif bersifat relatif, tidak absolut dan bergantung pada kerja sama atau partisipan. Hal inilah yang menyebabkan adanya tingkat-tingkat kompetensi komunikatif.
Sejumlah karakteristik kompetensi komunikatif tersebut adalah untuk melihat apakah suatu bentuk tuturan bersifat komunikatif atau tidak. Hal ini mencerminkan bahwa kompetesi komunikatif tidak hanya memperhatikan masalah kegramatikalan, melainkan juga kesesuaiannya dengan faktor sosial dan kultural. Karena pada prinsipnya kompetensi komunikatif mencakup dua hal yaitu pengetahuan tentang kebahasaan (kaidah kebahasaan), dan penggunaan bahasa. Kedua hal tersebut dijabarkan menjadi empat unsur kompetensi komunikatif yaitu kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, wacana dan strategi sebagaimana yang penulis paparkan sebelumnya.


KEGAGALAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
Pengajaran bahasa merupakan salah satu bentuk pengajaran yang memiliki cara yang berbeda dalam metode pengajarannyadibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Bahasa sebagaimana kita ketahui didapatkan oleh seseorang melalui dua hal, yaitu melalui perolehan dan melalui pembelajaran. Didapatkan melalui perolehan di sini artinya yakni di mana seseorang untuk pertama kalinya memperoleh bahasa (masih murni, belum memiliki bahasa) dalam penjelasan hal ini yang dimaksud yakni bayi atau balita. Sistem kehidupan inilah yang menyerap semua aspek-aspek tentang bahasa pertamanya dari orang tua, keluarga dan lingkungan sekitarnya tanpa harus belajar. Contoh: Jika satu bayi dari orang Indonesia diasuh dengan menggunakan bahasa inggris maka bayi itu akan berbahasa inggris, jadi bahasa yang diperolehnya adalah bahasa inggris bukan Bahasa Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran di sini adalah di mana seseorang yang telah memiliki bahasa kemudian ingin dapat berbahasa lainnya maka ia harus mempelajari bahasa itu. Contoh: Seorang berkebangsaan Inggris yang tidak bisa Bahasa Indonesia maka apabila ia ingin dapat berbahasa Indonesia ia kemudian belajar Bahasa Indonesia dengan pengajar bahasa atau juga dapat belajar secara otodidak yaitu dengan lingkungan sekitar (dengan hidup di kalangan orang berbahasa Indonesia). Maka proses yang demikian itu adalah proses pembelajaran.
Untuk memperlancar kegiatan pengajaran bahasa diperlukanlah metode atau suatu rumusan sistem cara pengajaran karena metode pengajaran merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang menjadi objek pengajaran
Dalam menerapkan metode pengajaran bahasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu oleh para pengajar yang antara lain adalah sebagai berikut;
1. Pengajaran harus disesuaikan dengan kultur sosial dari objek siswa
2. Menggunakan metode yang dianggap mudah oleh para siswa
3. Melalui pendekatan yang sifatnya komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar
4. dll.
Banyak sekali metode-metode dalam pengajaran bahasa yang sesungguhnya memiliki perbedaan-perbedaan antara satu dengan lainnya yang mungkin diakibatkan oleh teori-teori bahasa yang berbeda, jenis-jenis deskripsi bahasa yang beragam dan ide-ide yang beraneka tentang belajar bahasa.
Mengapa adanya kegagalan dalam pengajaran Bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia yang sesungguhnya berasal dari bahasa Melayu Riau yang kemudian mendapatkan pengaruh-pengaruh dari bahasa daerah-daerah lain dan juga dari bahasa asing, seperti bahasa-bahasa penjajah kita. Kegagalan di sini bersumber pada metode yang digunakan karena metode itu menentukan apa dan bagaimana pengajaran bahasa itu. Pengajaran bahasa dianggap berhasil apabila siswa dapat mendengar (menyimak), berbicara, membaca, menulis, memiliki banyak kosakata (vocab) dan juga bertata bahasa (grammar) dengan baik.
Pada hakikatnya semua metode pengajaran bahasa terjadi dari penahapan seleksi, gradasi, persentasi dan repetisi tertentu dari bahan pelajaran. Oleh karena itu, untuk membedakan suatu metode dengan metode yang lain kita harus menggunakan keempat tahap tersebut sebagai kriteria. Tahap seleksi dilakukan karena tidak mungkin mengajarkan semua bidang pengetahuan tetapi kita harus menyeleksi bagian mana yang akan kita ajarkan. Tahap gradasi dilakukan karena tidak mungkin kita mengajarkan secara serentak semua yang telah kita seleksi. Tahap persentasi dilakukan karena tidak mungkin kita mengajar tanpa mengkomunikasikan sesuatu itu kepada orang lain. Tahap repetisi dilakukan karena tidak mungkin kita mempelajari sesuatu keterampilan dari suatu keadaan yang tunggal saja. Semua keterampilan bergantung pada prakteknya.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam pengajaran Bahasa Indonesia yaitu;
• Pengajar bahasa yang memang kurang memahami teori bahasa, teori pembelajaran, tujuan pengajaran, silabus, tipe-tipe kegiatan yang akan digunakan, peranan pembelajar peranan pengajar itu sendiri, serta peranan materi yang akan diajarkan.
• Situasional yang tidak mendukung terciptanya kegiatan belajar dan mengajar bahasa seperti pengajar bahasa yang belum mampu berkomunikasi dengan lancar secara lisan dengan siswa, siswa yang berbeda kultur sosial dengan pengajar hingga tidak adanya ketertarikan kepada yang diajarkan.
• Metode yang diterapkan oleh pengajar tidak cocok untuk siswa karena beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya dan juga alat-alat bantu pengajaran bahasa yang kurang memadai untuk pengajaran bahasa.
Jadi sebaiknya agar pengajaran bahasa mencapai keberhasilan seorang pengajar bahasa adalah orang yang berkompeten yaitu orang yang sepenuhnya mengerti, memahami serta mempunyai ide untuk menemukan jalan keluar atas masalah pengajaran bahasa yang dihadapinya serta mempunyai tujuan yang baik dalam mengajarkan bahasa.






KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:
Pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang digunakan pada proses belajar mengajar di mana materi kegiatannya berhubungan erat dengan pengalaman nyata secara di luar sekolah. Intinya pembelajaran menurut pendekatan kontekstual adalah materi pembelajaran diakitkan dengan kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk peserta didik bekerja dan mengalami, bukan berupa pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
CTL merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pendekatan kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic).
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerja sama (cooperating) dan mentransfer (transferring). Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Hakekat pendekatan komunikatif baik dalam pembelajaran bahasa Indonesia yaitu pendekatan yang memandang bahasa sebagai sebuah gejala sosial yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu dalam masyarakat dengan berbagai konteks yang melingkupinya. Pendekatan ini lebih menekankan pada fungsi dan makna sekaligus dalam berbahasa, dan bukan terfokus pada tata bahasa yang seringkali tidak terkait dengan makna yang mau diungkapkan. Pendekatan ini mengajarkan bagaimana seseorang memiliki kompetensi komunikatif agar bisa menggunakan bahasa sesuai dengan fungsinya sebagai alat komunikasi sesama.
Melihat banyaknya pendekatan yang ada, maka diperlukan suatu metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai..

Saran:
Sebaiknya guru meningkatkan kreatifitasnya dalam kegiatan pembelajaran, agar materi yang diajarkan bermakna bagi peserta didik sehingga mudah untuk mengingatnya. Selain itu juga tujuan pembelajaran perlu diperhatikan juga.










DAFTAR PUSTAKA


… 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Inisiasi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Pdf download.

www. pendekatan kontekstual/ctl,o/doantarayasa,2008.com

www.makalahkumakalahmu.wordpress.com

























CONTOH 1
RENCANA PEMBELAJARAN
BERBASIS CTL

Mata pelajaran : IPA
Kelas : III
Caturwulan : 2
Waktu : 2 x 40 menit (1 kali pertemuan)
=======================================================
A. TUJUAN
Siswa dapat membedakan antara tumbuhan berbiji tunggal dengan tumbuhan berbiji banyak.
B. MEDIA
1. Lima kantung plastik ukuran 30 x 20 cm.
2. Biji-bijian masing-masing 20 butir
o Biji kacang tanah
o Biji rambutan
o Biji jambu
o Biji aren
o Biji salak
o Biji kedelai
o Biji kenari
3. Lima pasang gambar, yang masing-masing menunjukkan jenis akar tumbuhan berbiji tunggal dan berbiji jamak.
Catatan : Setiap kantong plastik diisi dengan lima butir biji-bijian dari masing-masing jenis.

C. SKENARIO PEMBELAJARAN
1. Sebagai kegiatan pembuka, guru menanyakan kepada siswa tentang :
a. buah-buahan yang setiap hari dikonsumsinya
b. biji-bijian bahan pembuat makanan.
2. Siswa dibagi dalam lima kelompok. Setiap kelompok menyebar mencari tempat, boleh dilantai, boleh menghadap meja (dua atau tiga meja disatukan).
3. Siswa menerima satu kantung plastik biji-bijian dan dua lembar gambar (Gambar akar yang disampingnya berupa kolom yang bisa diisi biji-bijian)
4. Siswa membuka kantung plastik, kemudian mengamati secara teliti biji-bijian yang ada.
5. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, siswa mengelompokan biji-bijian berdasarkan bentuk akar yang ditunjukan dalam gambar.
6. Siswa menempatkan biji-bijian yang telah dipisahkannya ke dalam kotak / kolom yang ada di samping gambar.
7. Siswa membuat catatan tentang pengelompokan jenis biji-bijian dengan istilah yang ditemukannya sendiri.
8. Setelah tiga puluh menit bekerja, siswa menyampaikan secara lisan temuannya.
9. Guru memberi komentar temuan siswa dengan menyesuaikan istilah yang digunakan siswa dengan istilah dalam IPA.
10. Selanjutnya, dengan cara "sharing", siswa menyebutkan sebanyak mungkin contoh tumbuh-tumbuhan untuk masing-masing jenis.
11. Sebagai kegiatan akhir, siswa diminta mengungkapkan sejumlah komoditas biji-bijian unggulan di Indonesia.

D. PENILAIAN
Penilaian untuk kegiatan ini didasarkan pada :
1. kerjasama dalam kelompok.
2. format lembar kerja yang telah diisi siswa
3. catatan yang dibuat siswa.


Catatan :
1. Rencana Pembelajaran tersebut, tentu bukan yang ideal. Hanya yang perlu mendapatkan perhatian, RP dalam pembelajaran CTL benar-benar "program" atau "rencana" untuk pegangan guru sendiri, sebelum ia mengajar. Tidak sama sekali untuk laporan kepada pihak lain. Dalam RP itu, ia bisa melihat apa-apa yang perlu disiapkannya sebelum mengajar, dan mengingatkannya mungkin ia lupa membawa gunting, kertas, atau biji-bijian yang kurang.
2. Fokus RP dalam pembelajaran CTL ada pada rincian kegiatan tahap demi tahap (skenario pembelajarannya) dan media yang digunakan.





















CONTOH 2
RENCANA PEMBELAJARAN
BERBASIS CTL

Topik/Kegiatan : Mendeskripsikan Benda Mesteri
Kompetensi Dasar : Menulis Pragraf Deskripsi
Bidang Studi : Bahasa Indonesia
Kelas/Caturwulan : 2/2
Waktu : 90 menit
==========================================================
A. TUJUAN
Melatih siswa mendeskripsikan ciri dan menemukan karakteristik benda-benda, kemudian mengungkapkannya dalam sebuah pragraf deskriptif.

B. MEDIA
Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan media :
1. 4 buah benda mesteri yang dibungkus rapi (korek apai, kotak sabung, akar pohon, dll.
2. 1 lembar pengamatan.
C. SKENARIO PEMBELAJARAN
1. Guru menjelaskan rencana kegiatan saat itu, yaitu mendeskripsikan benda misteri. Kemampuan yang dilatihkan adalah cara mendeskripsikan atau menemukan ciri benda-benda.
2. Siswa dibagi dalam empat kelompok, dengan cara guru menghitung siswa satu, dua, tiga, dan empat. Yang nomor 1, masuk kelompok satu, yang nomor dua masuk kelompok dua, dan seterusnya.
3. Guru membagi benda yang telah disiapkan. Jangan sampai kelompok lain "mengintip". Kemudian dibagikan juga blangko.
4. Siswa mendeskripsikan benda mesteri dengan mengisi blangko yang ada. Pertama menjelaskan ciri benda dengan dua kata, kemudian dalam kalimat. Usahakan deskripsinya lengkap, tetapi tidak merujuk pada benda apa itu.
5. Setelah 15 menit, secara bergantian masing-masing kelompok mendeskripsikan secara lisan benda itu. setelah itu, kelompok lain menebaknya. Sebelum menebak, kelompok lain boleh bertanya.
6. Siswa menyusun sebuah pragraf deskripsi berdasarkan data yang diperolehnya secara kelompok.
D. PENILAIAN
Data kemajuan diperoleh dari :
1. Partisipasi setiap siswa dalam kerja kelompok.
2. Lembar pengumpulan data deskriptif.
3. Cara siswa menyampaikan ulasan deskriptif secara lisan.
4. Paragraf deskripsi yang ditulis siswa.
Catatan :
Setelah berakhir, lakukan refleksi atas pembelajaran itu!
1. Tanyakan kepada siswa, "Apakah kalian senang dengan kegiatan tadi?" Dengan cara itu, kalian lebih mudah menyusun pragraf deskripsi.
2. Refleksi CTL :
o Proses Inquiri muncul pada cara dan kiat mendeskripsikan yang ditempuh siswa.
o Questioning muncul ketika siswa (peserta) mengambil benda, bertanya, mengajukan usul, dan menebak.
o Learning community muncul pada kerja kelompok dan saling menebak dengan kelompok lain.







CONTOH 3
RENCANA PEMBELAJARAN
BERBASIS CTL

Topik/Kegiatan : Mengamati Ikan dan Perilakunya
Bidang Studi : Integrasi antara IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia.
Kelas/Caturwulan : 2/2
Waktu : 90 menit
==========================================================
A. TUJUAN
Melatih siswa menemukan, menganalisis, mengamati, menggambarkan, menyanjikan secara visual, dan menyajikan di hadapan orang banyak ikan dan perilakunya.
B. MEDIA
Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan media :
1. 5 buah toples atau gelas yang masing-masing sudah diisi seekor ikan (besarnya disesuaikan dengan gelas).
2. 5 lembar kertas karton (manila) untuk membuat gambar.
3. 5 buah termometer pengukur suhu air.
4. 5 buah penggaris.
5. 5 buah spidol warna (atau lebih)
6. 10 lembar kertas kwarto.
C. SKENARIO PEMBELAJARAN
1. Kelas dibagai 5 kelompok.
2. Masing-masing kelompok menghadap meja yang diatasnya telah tersedia 1 buah toples berisi air dan ikan, penggaris, termometer, dan kertas karton manila, masing-masing satu buah. Juga dua lembar kertas kwarto.
3. Selama 40 menit, siswa mengamati ikan yang ada di toples. siswa diminta mengamati ikan itu, mencatat semua yang mereka amati; ukuran, warna, kira-kira beratnya, serta peri lakunya, dll.
4. Siswa menyajikan hasil pengamatan di kertas karton manila. Kreativitas dalam menyajikan ide hasil pengamatan sangat dihargai; boleh dengan gambar, bagan atau verbal. Juga, apakah siswa mampu membedakan antara data kuantitatif dan kualitatif yang mereka temukan.
5. Diawali oleh salah seorang anggota, setiap kelompok menyajikan hasilnya.
6. sharing dalam kelas mengenai apa-apa yang bisa diamati dari kehidupan seekor ikan; warna, ukuran, tebal, berapa kali bernafas setiap menit, dsb.
7. Berikan bonus untuk penampil terbaik! (gambar binatang, permen, bollpen, dsb.)
D. AUTHENTIC ASSESSMENT
1. Partisipasi siswa dalam kerja kelompok.
2. Kualitas display hasil pengamatan


















Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(Pendekatan Komunikatif)

Kelas / Semester : 2/2
Tema : Budi Pekerti
Alokasi waktu : 2 minggu


• Standar Kompetensi

Bahasa Indonesia
• Mendengarkan : memahami pesan pendek dan dongeng yang dilisankan.
• Berbicara : mengungkapkan secara lisan beberapa informasi dengan
mendeskripsikan benda
• Menulis : menulis permulaan dengan mendeskripsikan benda di sekitar
dan menyalin puisi anak.

PKN
• Memahami sikap demokratis
• Menampilkan nilai-nilai pancasila.


II. Kompetensi Dasar

Bahasa Indonesia
• Menyampaikan pesan pendek yang didengarkan kepada orang lain.
• Menceritakan kembali cerita anak yang didengarkan dengan menggunakan kata-kata sendiri.
• Menyalin puisi anak dengan huruf tegak bersambung.


PKN
• Mengenal kegiatan bermusyawarah
• Menghargai suara terbanyak.
• Menampilkan sikap mau menerima kekalahan.
• Mengenal nilai kejujuran, kedisiplinan dan senang bekerja dalam kehidupan sehari-hari.



III. Indikator

Bahasa Indonesia
• Mencatat isi pesan.
• Menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain.
• Menyalin kalimat cetak menjadi kalimat tegak bersambung sebanyak 5 kalimat.
• Menuliskan karangan pendek dengan melanjutkan sebuah cerita yang sudah disediakan.

PKN
• Menyebutkan cara bermusyawarah yang benar.
• Mengerjakan tugas dengan cara berkelompok.
• Membiasakan melakukan musyawarah dalam kegiatan sehari-hari.
• Membiasakan menghargai pendapat orang lain dalam suatu diskusi.
• Menghargai hasil keputusan bersama atas dasar kesepakatan dan suara terbanyak.
• Membiasakan untuk bersikap lapang dada.
• Menyebutkan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan senang bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
• Menjelaskan cara dan manfaat hidup jujur, disiplin dan senang bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

IV. Tujuan Pembelajaran

PKN
• Memahami dan membiasakan melakukan sikap demokratis dalam kehidupan sehari-hari.
• Memahami dan menampilkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
• Membiasakan untuk bersikap lapang dada, jujur, disiplin, dan senang bekerja.
• Merasakan manfaat hidup penuh dengan nilai-nilai pancasila, misalnya berperilaku jujur, disiplin, lapang dada dan senang bekerja.

Bahasa Indonesia
• Memahami sebuah isi pesan yang didengar kemudian dicatat dan disampaikan kembali kepada orang lain baik lisan maupuntulisan.
• Menyalin kalimat cetak menjadi kalimat tegak bersambung.
• Membuat karangan pendek dengan melanjutkan sebuah cerita yang sudah disediakan.


V. Materi Pelajaran

PKN
• Musyawarah.
• Menghargai pendapat orang lain dan hasilkeputusan bersama.
• Sikap lapang dada.
• Nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan senang bekerja.

Bahasa Indonesia
• Menyampaikan pesan pendek.
• Menyalin kalimat.
• Menulis karangan / puisi.

VI. Metode

• Bahasa Indonesia
• Demontasi
• Penugasan
• Kuis
• Tanya jawab
• PKN
• Ceramah
• Tanya jawab
• Diskusi
• Penugasan
• Pembiasaan

VI. Langkah-langkah Pembelajaran

Pertemuan ke I (Bahasa Indonesia, PKN).

A. Kegiatan awal
• Membaca do’a dan mengabsen siswa, merapihkan tempat duduk.
• Menginformasikan materi yang akan disampaikan.

B. Kegiatan inti
• Guru mendiktekan isi pesan.
• Siswa mendengarkan dan mengucapkan isi pesan yang didiktekan guru.
• Siswa mencatat isi pesan yang didiktekan guru dengan menggunakan tulisan tegak bersambung.
• Guru memeriksa dan menilai pekerjaan siswa.
• Guru atau murid membacakan sebuah cerita dengan nyaring dan lancar dengan memperhatikan tanda baca.
• Siswa menjawab pertanyaan bacaan baik lisan maupun tulisan.
• Guru membacakan cerita yang bertemakan musyawarah kemudian menceritakan secara global.
• Siswa ditugasi mendiskusikan suatu permasalahan secara berkelompok untuk diminta suatu keputusan atas kesepakatan bersama.
• Siswa dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
• Guru mengambil sebuah kesimpulan dari hasil diskusi sebagai penguatan.
• Siswa membaca secara bergilir dengan tema yang berhubungan dengan budi pekerti dan dibacakan lancar serta nyaring.
• Mengambil intisari dari bacaan tersebut dengan melakukan Tanya jawab yang berhubungan dengan bacaan tersebut.

C. Kegiatan akhir
• Penilaian pekerjaan siswa secara tertulis.
• Tanya jawab materi yang telah disampaikan.
• Pemberian tugas (PR, Portofolio).

D. Penilaian
• Jenis test : tertulis, lisan.
• Bentuk test : isian, essay, portofolio.

VIII. Alat dan Sumber
• Buku paket dari berbagai penerbit.
• Lingkungan.
• Media cetak dan elektronik.
• Kreatifitas guru dan siswa.

Pertemuan kedua (B. Indonesia, PKN).

A. Kegiatan awal
• Membaca do’a dan mengabsen siswa.
• Merapihkan tempat duduk.
• Mengadakan pre test materi yang telah disampaikan.

B. Kegiatan inti
• Guru membagi beberapa kelompok (5 orang /kelompok).
• Siswa maju ke depan untuk menerima pesan beraantai dari guru.
• Siswa menuliskan pesan tersebut (dilakukan sampai habis kelompok).
• Guru memberikan kesimpulan sebagai penguatan dan melakukan penilaian.
• Guru mengadakan sebuah diskusi untuk membicarakan sesuatu (tema ditentukan).
• Siswa mengikuti diskusi tersebut dengan harapan belajar membiasakan menghargai pendapat orang lain dan menghargai hasil keputusan bersama atas dasar kesepakatan suara terbanyak dalam suatu diskusi.
• Guru menyimpulkan hasil diskusi sebagai penguatan.
• Siswa membacakan sebuah dongeng dengan lancar dan memperhatikan intonasi yang benar.
• Tanya jawab sekitar dongeng yang dibacakan untuk diambil intisari yang baik dari lakon, cerita dan karakter dalam dongeng tersebut.
• Siswa ditugaskan untuk membuat dongeng atau mencari dongeng dari berbagai media lain.

C. Kegiatan akhir
• Penilaian hasil kerja siswa baik per kelompok maupun perorangan.
• Pemberian tugas dan portofolio.

D. Penilaian
• Jenis test : Tertulis, lisan, perbuatan.
• Bentuk test : Isian, essay, skala sikap, portofolio.
• Instrumen :
- Pesan berantai :
1. anak yang baik selalu patuh dan taat kepada orang tua.
2. jasa orang tua tidak akan terbalaskan, dst.

- Diskusi tentang menentukan tempat yang akan dijadikan kunjungan belajar.
- Membaca dongeng
1. menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
2. membuat dongeng versi anak

Pertemuan ketiga

A. Kegiatan awal
• Berdo’a dan mengabsen siswa.
• Bercerita yang ada hubungan dengan materi yang akan diajarkan.

B. Kegiatan inti
• Guru menulis kalimat dengan menggunakan huruf cetak.
• Siswa menyalin kalimat tersebut kedalam huruf tegak bersambung.
• Penilaian hasil pekerjaan siswa dengan memperhatikan hurup besar dan tanda baca.
• Bercerita yang ada hubungan dengan sikap lapang dada.
• Siswa menanggapi dari cerita tersebut dengan bertanya jawab untuk mengungkapkan pendapatnya.
• Menyebutkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan senang bekerja berikut contoh-contohnya.
• Menceritakan akibat yang dirasakan dari sikap-sikap yang dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
• Mengisi skala sikap yang diberikan guru.
• Guru menilai hasil kerja siswa.

C. Kegiatan akhir
• Mengadakan tanyajawab sekitar materi yang telah disampaikan.
• Memberikan penilaian hasil kerja siswa baik secara tertulis, lisan maupun perbuatan yang telah dilakukan siswa.
• Memberikan tugas atau PR

D. Penilaian
• Jenis test : tertulis, lisan, perbuatan
• Bentuk test : isian,essay, skala sikap, portofolio.
• Instrumen :
• Salin ke dalam hurup sambung
- Ibu guru sedang menasehati murid kelas dua.
- Ayah dan ibu sangat menyayangi kita, dst.
- Apa pendapatmu tentang karakter tokoh dalam cerita itu.
- Sikap menerima, tabah, dan sabar disebut sikap…….,dst.

3 komentar:

  1. biyuuuhhh,,
    lengkape reeekk,,
    hahahaaaa,,
    pas ujian ,,kalo kepepet bisa jadi alternatif ne,,,

    BalasHapus
  2. Bagus sekali, ini memberikan informasi yang jelas dan simple bagi saya untuk memahami beberapa pendekatan dalam proses belajar mengajar

    BalasHapus
  3. Ya, penjelasan yang sangat lengkap dan menarik apalagi Inovasi bidang pendidikan khususnya bahasa Indonesia

    BalasHapus