Sabtu, 23 Januari 2010

Bintang Bosscha

BINTANG BOSSCHA (BB)

Terus bersinar tak kan lelah ku sinari bumi. Ku persembahkan cahya ini untukmu. Sinarku tak kan berarti apa-apa tanpa memberikan manfaat bagi orang lain. Kan ku berikan senyum ceriaku, meski kau tak pedulikanku. (mentari pada bumi)
Keelokan mentari selalu menyinari lelap mataku, saat gelap menyelimuti. Cukup tinggikah imajiku untuk menjadi mentari yang memancarkan cahya manfaatnya bagi makhluk di bumi. Diriku hanyalah seorang ‘cahya mentari’, nama yang diberikan ayahku 17 tahun lalu. Setiap nama adalah doa, begitu pula ayahku menginginkan ‘cahya mentari’ menjadi seorang yang mampu menyinari setiap hati di dalam kehidupan ini. Mentari bercahya yang slalu memberikan binarnya dalam pergantian waktu. Begitulah harapan orang tuaku.
“Tari... sok atuh bangun nak” suara khas mamah mengalun. Indah ku dengar sesaat adzan subuh berkumandang.
Alhamdulillah... udara kota kembang mampu memenuhi rongga-rongga jiwaku.
“Iyah Mah, Tari udah bangun”
“Segera tunaikan sholat nak, ayah menunggu kita di musholla”
“Tari segera menyusul Mah”
***
Mata sapi tersenyum padaku, ditemani sayur berwarna-warni atau orang biasa memanggilnya soup, menghias di atas balok kayu tempat biasa keluargaku menikmati hidangan mamah. Lidahku mengecap rasa begitu khas, masakan mamah begitu lezat terasa. Bersyukur punya mamah yang pandai masak. Kulahap habis makanan favoritku, segera bergegas aku menuntut ilmu. Tak lupa ku cium jemari mamah.
***
SMA Tunas Pertiwi, pagi yang cerah ini siswa-siswi kelas XII IPS akan belajar merangkai bintang bosscha menjadi rasi bintang gemini. Maksudku observasi Bosscha begitu bahasa kerennya.
Bosscha terletak di desa Gudang Kahuripan dan desa Lembang, Bandung, Jabar. Berada disekitar perbukitan yang rindang membuat Bosscha menarik dijadikan tempat pengamatan bintang. Bosscha berjarak 15 km ke arah utara dan pusat kota Bandung, dapat ditempuh kira-kira selama 30 - 60 menit atau tergantung dari kondisi jalan pada saat itu.
“Waw...” sederet mata membidik bangunan berbentuk tabung bertutup setengah bola. Permadani hijau sebagai alas Bosscha, deretan pohon menambah rindang suasana, bunga pun seakan tersenyum.
“Subhanallah... Lukisan Ilahi yang... mempesona” hatiku berdesir.

“Selamat datang Tunas Pertiwi” senyum ramah menyapa.
”Abdi teh Laksmana Candra”
“Kirain Laksamana Maedah. Hee...” tawa Winda penuh kagum.
“jangan gitu atuh” bisikku.
“Bosscha, observatorium tertua di Indonesia. Memiliki lima buah teleskop besar. Tunas Pertiwi ada yang sudah tahu??”
“Teleskop Bamberg, teleskop Schmidt, apa lagi ya?” jawab Ujang sang ketua kelas.
“Teleskop Zeiss...” Tambah ku.
“Teleskop Unitron...” Winda dengan senyumnya.
“Teleskop Cassergrain...” Wina tak ketinggalan.
“Wah-wah... anak Tunas Pertiwi memang kompak. Bener jawaban dari temen-temen kalian. Bosscha mempunyai lima teleskop, antara lain; teleskop eflaktor Bamberg, teleskop Schmidt Bima Sakti, teleskop reflaktor ganda Zeiss, teleskop reflaktor Unitron, dan Teleskop Cassergrain GOTO” jawab kak Candra.

“Kak Chandra, kenapa namanya observatorium Bosscha, kok nggak ‘Rasya Observatorium’ saja ya?” Rasya dengan rasa ingin tahunya.
“Itu mah, maneh ke-PD-an Sya.” ledek Ujang.
Dengan senyum khasnya kak Candra menjelaskan, “Kenapa Bosscha? karena penyandang dana pembuatan observatorium sebagian besar berasal dari Karel Albert Rudolf Bosscha. Bosscha seorang dari Belanda yang mempunyai kebun Teh di daerah Malabar.”
“Mungkin kalau waktu itu Rasya jadi cucunya Bosscha, namanya jadi Rasya observatorium ya?” dengan wajah polosnya, Winda menyeletuk.
***
Haripun berlalu.
Mentari senja berkemilau dalam jiwa.
Cahya Mentari terbaring lemah,
Dengan suara lirih Cahya Mentari memanggil ibundanya
“Mamah... “
“Iyah mentari Pagiku, mamah bersamamu nak.”
Mentari pagi, nama manis dari mamah. Menurut mamah anak gadisnya selalu ceria laksana mentari pagi menyapa setiap insan dalam pergantian waktu tiba.
”Mentari dimana Mah?”
Tangan lembut menyentuh telapak, sebuah ciuman hangat menyertai kening mentari pagi.
“Gelap mah, tak nampak cahya kutangkap dari bola mataku”
“Sabar anakku...”
“Mah... mentari pagi tak mampu bersinar lagi”
“Mah... mentari pagi tak bisa tersenyum lepas lagi”
Mentari pagi, hanyut dalam peluk hangat ibundanya.
***
Kedua retina Mentari rusak, hal ini dikarenakan sinar tajam telah memasukinya sewaktu praktek d Bosscha.
“Bagaimana dengan nasib anak kita Yah”
“Sabar Mah... kita tak boleh putus asa. Allah mempercayakan cobaan ini pada kita.”
“Ayah tahu sendiri kalau retina mentari rusak. Dan agar mentari dapat melihat kembali, kita memerlukan donor mata. Masalahnya donor mata sekarang ini jarang sekali Yah. Dari mana kita kan dapatkan?”
“Mamah, kita akan berusaha untuk itu. Allah akan memberikan jalan bagi kita dan anak kita. Percayalah mah!”
“Apa tidak sebaiknya amah donorkan saja mata amah untuk mentari? Mentari berkeinginan besar untuk menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa seperti Ayah. Katanya agar mampu mengamalkan ilmu- ilmu yang ia punyai untuk murid-muridnya nanti. Rasanya amah tak kan apa-apa klu mata amah ini mampu menyinari dunianya Mentari. Amah nggak kan kecewa, asal amah liat Mentari bisa mewujudkan impiannya.”
“Sabar Mah. Kita carikan donor mata. Mungkin ‘bank mata’ bisa membantu kita. Dan suatu saat kita akan menemukan mutiara hati yang ikhlas memberikan retinanya untuk mentari kita.” Ucap Ayah dengan penuh harap.
***
Hampir seminggu, senyum mentari tak bersinar di SMA Tunas Pertiwi. Winda, Wina, dan Nita nampak lesu. Mereka rindu akan keluguan dan kepolosan yang bersarang di hati mentari.
“Sepi banget yah?” gumam Winda.
“Nyalain aja tuh MP3 mu, biar ku dengar Al-Veoli bernasyid.” Saran Nita.
“Di kantin yang rame gini maneh bilang sepi wae??” Wina dengan lugunya.
“Abdi teh kangen gitu sama Cahya Mentari.”
“Hhmmmm...” Nita dan Wina bersamaan.
Siang itu mereka memutuskan untuk menjenguk Mentari.
***
“Chandra....” seseorang dari jauh memanggilnya.
Chandra tetap berjalan menuruni tangga di kampus Astronomi ITB.
“Ndra, mau cabut kemana ney?” Dika menepuk pundaknya.
“Seperti biasa, aku mau ke Bosscha”
“Kamu itu Ndra, udah tahu kesehatanmu tak mendukung masih saja kau pergi ke Bosscha. Apa sih yang kurang darimu? kiriman bulanan dari ortu tak pernah telat. Mending waktumu kau habiskan untuk istirahat. Dari pada nanti penyakitmu kambuh lagi. Atau memang kamu seneng ya kalo tiap bulan nginep di Rumah Sakit.”
“Iyah Dik, ntar kan aku bisa dirawat suster-suster cantik. Heee...”
“Gayamu Ndra... megeli temen kowe dadi arek” Dika dengan logat jawanya.
“Udah atuh Dik. Aku ingin ilmuku bermanfaat dan aku harus ke Bosscha. Hatur nuhun Dika, pergi dulu ya. Daaaa...”
“Nambeng, angel kandanane. Yo wes lah karepmu.”
Chandra tetap melangkahkan kakinya. Dia tak pernah peduli tentang penyakitnya yang membuat kondisinya kian parah. Keras kemauannya jika ia sudah berkeinginan itulah chandra.
Hari ini Bu Cucu staf administrasi Bosscha ulang tahun, Chandra sempetin waktunya untuk membelikannya bunga anggrek kesukaan beliau. Sekitar jalan menuju Bosscha banyak dijumpai toko bunga, jadi tak sulit untuk mencarinya.
Berbagai jenis bunga berjajar disana, Chandra mulai mencarinya. Anggrek putih, ya anggrek putih saja, gumam chandra.
Tiba-tiba, sepasang mata chandra bembidik ke arah selatan tempat dua remaja memilih bunga. Serasa pernah melihat sesosok mereka.
“Siapa ya?” Pikirnya.
“Kak Chandra...” sapa salah satu remaja itu.
“Kayak pernah kenal deh, dimana ya?” Chandra dengan ragu.
“Abdi teh Winda, ini Wina, sebelah sana tuh temen kami juga namanya Nita. Kita siswi Tunas Pertiwi. Kak Chandra inget?”
“Mmmm, iya. Perasaan familiar banget kalian ini. Kok Cuma bertiga, yang atunya lagi mana?”
“Mentari maksudnya??” jawab Wina.
“Mungkin, setahuku kalian waktu di Bosscha kemarin slalu bareng berempat kemana- mana.”
“Nah, tu dia kak. Dari seminggu lalu Mentari tak masuk sekolah. Terakhir masuk, Mentari ijin pulang dulu karena Mentari mengeluh penglihatannya kabur. Tak lama setelah kita dari Bosscha itu kak. Sekarang Mentari dirawat di rumah sakit”
“Hari ini kita akan menjenguk kesana, iya kan temen-temen?” Wina.
“Apa kakak akan ikut?” Nita.
“Gimana ya? Kakak hari ini ada tugas di Bosscha.”
“Btw, kakak beli bunga untuk sapa?” Winda penuh penasaran.
“Oh... ini ada staf Bosscha yang lagi ulang tahun. Maap nggak bisa lama-lama, karena uda di tunggu temen-temen di Bosscha. Daaa...”
“Hmmm... nggak sia-sia ya beli bunga disini ketemu sama kak chandra” gumam Winda.
“Maksudnya???” Wina dan Nita terperangah.
***
“Mentari... yang sabar yah. Winda, Wina sama Nita akan slalu menemani Mentari.” Winda dengan setia kawannya.
“Mentari tak bisa bersinar seperti dulu lagi.”
“Kemana mentari yang slalu ceria terangi bumi. Mentar, apa pun yang terjadi padamu. Kita bertiga adalah sahabat yang slalu ada untukmu” Wina.
“Iyah, Mentari tak sendiri di dunia ini. Ada serangkaian planet yang slalu mengitarimu. Kita disini adalah bagian darimu” Nita.
“Eh-eh, tadi kita ketemu kak Chandra lho.” Winda.
“Bintang Bosscha itu???” Mentari terkejut.
“Maksud kamu, kak chandra gitu” Wina
“Serangkaian bintang yang bersinar di Bosscha, ialah kak chandra. Dalam bahasa jawa candra artinya adalah rembulan. Kakekku orang Jawa jadi aku tahu. Ketika aku masih kecil, kakekku sering bercerita tentang ‘candra kirana’ atau rembulan yang bersinar. Dan aku menemukannya di Bosscha.” Cerita mentari.
“Hmm, indah cerita Bintang di Bosscha” Winda.
***
Enam bulan terlewati, indah bintang bersinar dalam balutan kasih.
Seseorang yang berhati mulia telah memberikan retinanya. Mungkinkah mentari akan bersinar kembali?
Dan siang itu dokter memperbolehkan perban di kelopak mentari di buka. Semua doa-doa yang tertuju pada Mentari dimujabahkan Allah. Operasi berjalan lancar, Mentari pun bersinar.
“Ayah, amah mana? Mentari kangen Amah”
“Amah sedang sakit nak. Mentari sabar ya, ntar juga Mentari akan bertemu dengan Amah.”
“Ayah, Mentari boleh tahu siapa yang telah memberikan retina ini untuk mentari?”
Ayah hanya terdiam.
***
Mentari seolah lupa akan keinginannya untuk menemui pemilik retinanya.
“Heh, bengong aja.” Winda mengagetkan Mentari.
“Kamu ne bikin kaget orang aja sukanya”
“Eh aku punya alamatnya Bintang Bosscha lho.”
“Siapa?”
“Cahya Mentari, kebiasaan lupanya nggak ilang-ilang. Kak Chandra maksudnya, kemarin lalu aku dikasih kartu namanya.”
“Wah.. masih bersinar nggak ya bintang Bosscha itu. Inginku melihatnya bersinar.”
“Mentari ingin bertemu kan? Sok atuh, Winda anterin.”
“Jangan Wind, aku malu. Ngapain juga kita kesana, nggak ada tujuan yang jelas pula.”
“Bilang aja kita dapet tugas ngliput, kamu kan anggota redaksi majalah Tunas Pertiwi. Atau dapet tugas tentang astronomi.”
Hari Minggu, Mentari bersama Winda pergi menemui Kak Chandra. Mereka janjian di sebuah restoran daerah Lembang. Sesosok pria menghampirinya,
“Kalian Mentari sama Winda ya?”
“Iyah” jawabnya bersamaan.
“Kok tau?” tanya Winda.
“Aku Dika, temennya Chandra.”
“Kak Chandra mana?” Sela Mentari.
“Chandra tak bisa hadir di tengah-tengah kalian.”
“Kenapa?” Mentari.
“Chandra udah meninggalkan kalian. Dia pergi tuk selamanya.”
“Maksudnya?” tanya Winda.
“Kak Chandra studi di luar negri ya” Mentari dengan kepolosannya.
“Beberapa hari lalu Chandra udah di kebumikan. Chandra udah meninggal. Dan selama ini aku yang diamanahi pegang ponselnya Chandra.”
“Innalillahi...” Isak Mentari.
Winda berusaha menguatkan Mentari, dengan memberikan sentuhan sekeliling punggungnya.
“Sabar Mentari”
“Chandra berpesan padaku, kalau misalnya suatu saat ada seorang bernama Cahya Mentari yang menghubunginya. Aku diijinkan untuk menemuinya. Dan benarkah kau Cahya Mentari?”
“Iyah, dia lah Cahya Mentari” jawab Winda.
Mentari seolah tak kuasa lagi untuk menjawabnya.
“Chandra menitipkan sesuatu padaku. Ini terimalah.”
Dibukanya kotak itu, sebuah kalung dengan bandul berbentuk bintang dengan bulan sabit di tengahnya.
Ada selembar kertas bermotif bintang,
‘kuberikan bintang di kelopak mata indahmu.
Agar kau mampu bersinar terang dalam gugusan bintang Bosscha.
Kau lah terindah di langit hatiku’.

***

Glosarium
Abdi: aku (bahasa sunda)
Al-Veoli : nama nasyid yang dari Bandung yang pernah mengikuti Festival Nasyid di salah satu stasiun TV swasta.
Megeli: menyebalkan (bahasa jawa).
Temen: beneran, sungguhan (bahasa jawa).
Kowe: kamu (bahasa jawa).
Arek: pemuda (bahasa jawa).
Nambeng: keras kepala (bahasa jawa).

4 komentar:

  1. wow,,
    jadi yang pertama ato kedua aku neh?

    BalasHapus
  2. siiiipp,,,buat ndiri tu???
    wee,,keren,,,jadi terharu,,
    kembangkan terus,,sapa tau bisa jadi penulis novel terkenal,,
    amin

    BalasHapus
  3. maksudnya pertama buka atau baca?
    atau apa?

    BalasHapus
  4. amien2...
    mahacih mz...
    yang buat aja mpe nangis...
    heeeeeee...
    sukses jg bwt mz Rosi...

    BalasHapus